Di sudut sebelah selatan Alun-Alun Malang terdapat sebuah hotel yang merupakan hotel tertua di Kota Malang. Hotel yang kini bernama Pelangi ini mengalami sejarah yang cukup panjang. Dari awal pendiriannya di tahun 1860 dengan nama Lapidoth hingga di tahun 1915 mengalami perombakan total dengan membangun gedung ikonik dengan menara kembarnya. Lalu Hotel ini pernah mengalami kerusakan cukup parah di bagian depan hotel dan meruntuhkan dua menara kembarnya pada tahun 1947.
Bila kita mengunjungi hotel ini terasa sekali suasana bangunan kolonialnya. Lihatlah Lodji Resto yang dulu merupakan tempat kongkow para mevrouw dan meneer Belanda masih terlihat apik dengan langit-langit perunggunya, lantai bercorak sulur bunga, balkon di bagian atas resto hingga 22 buah lukisan keramik asli dari kota Delft. Deretan kamar yang berada di kanan dan kiri gedung utama pun masih berdiri kokoh walaupun ada renovasi di beberapa tempat. Tangga dengan pegangan kayu dan ulir besi yang masih otentik, hingga termometer yang berusia puluhan tahun.
Malang sebenarnya memiliki banyak bangunan yang masuk kategori cagar budaya dan hotel Pelangi hanya salah satu dari sekian banyak bangunan cagar budaya yang “kebetulan” masih terpelihara dan terjaga. Namun bagaimana dengan bangunan peninggalan kolonial lain? Sebelumnya perlu kita ketahui dulu apa kategori sebuah bangunan dapat ditetapkan sebagai cagar budaya? Dalam Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2010 Mengenai Cagar Budaya ada syarat sebuah bangunan masuk ke dalam kategori cagar budaya, yaitu :
- Berusia 50 tahun atau lebih.
- Mewakili langgam arsitektur berusia minimal 50 tahun.
- Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan.
- Memiliki nilai budaya untuk kepribadian bangsa.
Hotel lain yang merupakan cagar budaya adalah hotel El Kartika Wijaya di kota Batu. Terletak di seberang kantor pemerintahan yang ramai menjadikan hotel ini mudah dikenali. Arsitektur Indis dengan ciri khas yang mirip dengan hotel Pelangi yaitu ada dua menara kembar di bagian depan. Menara ini digunakan sebagai tempat pengintaian dan menyimpan senjata juga meriam. Jadi digunakan sebagai markas penjaga keamanan bila terjadi keadaan darurat serangan musuh.
Awalnya hotel ini merupakan sebuah vila perisitirahatan keluarga Martyrose ter martin di akhir abad 19. Keluarga keturunan Iran ini memang dikenal sebagai pebisnis hotel. Tak kurang dari 4 hotel besar mereka miliki seperti Hotel Raffles di Singapura, Hotel Strand di Rangoon Burma, Hotel Oranje (majapahit) di Surabaya dan Hotel Niagara di Lawang. Djambe Dawe adalah julukan untuk vila peristirahatan ini yang artinya pinang melambai, mengacu pada pohon Jambe/Pinang yang memang ditanam berjajar di halaman depan.
Di bagian lobi, kita diperlihatkan interior yang sangat otentik. Di bagian dinding terdapat hiasan kaca patri yang berbentuk peta pulau Jawa yang didominasi warna kuning dan coklat. Indah sekali dan membuat berdecak kagum siapa pun yang melihatnya. Di ruangan sebelah kiri lobi hotel juga terdapat tangga menuju ke menara atas, namun ada pula tangga sempit menuju ruang bawah tanah. Ruangan bawah tanah tidak terlalu luas dan difungsikan sebagai gudang beberapa barang. Dari informasi yang saya dapat, dulu ruangan bawah tanah ini lumayan panjang dan berbentuk labirin di bawah bangunan utama. Namun karena pertimbangan keamanan maka ruangan itu ditembok dan tidak dibuka untuk umum.
Dua contoh hotel diatas menjadi contoh Cagar Budaya Indonesia di daerah yang masih terjaga dengan baik. Walaupun setiap kota memiliki Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) namun apalah artinya tanpa keterlibatan masyarakat sekitar terutama kaum milenial dalam menjaga peninggalan sejarah di sekitar kita. Misalnya dengan cara terlibat aktif di komunitas sejarah di kota tersebut, ikut menjaga agar tidak terjadi aksi vandalisme di bangunan cagar budaya, mengadakan trail heritage dengan mengunjungi bangunan cagar budaya atau bahkan mengadakan fun games mengenai bangunan cagar budaya dengan harapan generasi muda mengenal sejarah dengan fun dan happy. Kegiatan terakhir ini pernah diselenggarakan oleh Volunteer Cagar Budaya Kota Malang dengan tajuk Malang Greget di akhir tahun 2018.
Ayo bersama merawat cagar budaya yang kita miliki , jangan sampai peninggalan itu musnah dan tidak bisa dinikmati oleh penerus kita. Salam lestari !!
Bagi teman-teman, jangan lupa untuk berpartisipasi pada kompetisi “Blog Cagar Budaya Indonesia : Rawat atau Musnah!”
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id
Foto oleh Anthea dan dok. pribadi